Jumat, 23 November 2012

hukum melaksanakan sholat by sylvia eka saputri

A.    TUJUAN DAN HIKMAH PENCIPTAAN MANUSIA dan JIN Sesungguhnya Allah Ta’ala menciptakan alam semesta tidaklah dengan sia-sia atau tanpa hikmah di balik penciptaan tersebut. Aka tetapi Allah memiliki maksud dan tujuan yang mulia. Allah Ta’ala berfirman :
وَمَا خَلَقْنَا السَّمَاءَ وَاْلأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا بَاطِلاً
“Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antaranya keduanya tanpa hikmah” (QS. Shaad : 27)
Adapun hikmah dari penciptaan jin dan manusia di alam semesta ini adalah agar mereka beribadah kepada Allah dan tidak mensekutukan-Nya. Allah Ta’ala berfirman :
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُونِ
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka menyembah-Ku”. ( (QS. Al Dzariyat : 56)
Inilah tujuan yang agung dari penciptaan jin dan manusia, yaitu agar mereka hanya beribadah kepada Allah. Hal ini menunjukkan bahwa tidaklah Allah menciptakan mereka karena Allah butuh kepada mereka, akan tetapi justru merekalah yang membutuhkan Allah. Dan ayat ini menunjukkan pula tentang wajibnya manusia dan jin untuk mentauhidkan Allah dan barang siapa mengingkarinya maka ia termasuk orang yang kafir, yang tidak ada balasan baginya kecuali neraka.   
B.   MAKNA IBADAH
Arti Ibadah ( العِبَادَةُ ) secara bahasa adalah tunduk dan menghinakan diri serta khusyu’. Di dalam kamus Al Mu’jam Al Wasith ibadah artinya ”tunduk kepada Tuhan yang menciptakan”. Imam Al Qurthuby berkata ”Asal ibadah ialah  tunduk dan menghinakan diri”.
Secara istilah arti ibadah adalah sebagaimana  perkataan Ibnu Katsir : “Ibadah adalah taat kepada Allah dengan melaksanakan hal-hal yang diperintahkan dan menjauhi hal-hal yang dilarang”. Kemudian Ibnu Taimiyah berkata : “Ibadah ialah sesuatu yang mencakup semua perkara yang dicintai dan diridhoi Allah berupa perkataan atau perbuatan yang nampak atau pun tidak nampak”.
C.   HUKUM IBADAH
Hukum asal dari ibadah adalah haram kecuali ada dalil. Maksudnya adalah semua bentuk ibadah adalah haram untuk dikerjakan kecuali kalau ada dalil dari Al-Qur’an Al-Karim atau Hadits Shohih yang mewajibkannya atau mensunahkannya. Seperti sholat, puasa, zakat, haji adalah haram dikerjakan pada asalnya, namun dikarenakan ada dalil yang mewajibkannya maka hukumnya menjadi wajib untuk dikerjakan.
Dalil tentang wajibnya sholat dan zakat adalah firman Allah Ta’ala:
وَأَقِيمُوا الصَّلاَةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ
“Dirikanlah sholat dan tunaikanlah zakat” ( QS. Al Baqoroh : 83 )
Dalil tentang kewajiban puasa adalah firman Allah Ta’ala:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa” ( QS. Al Baqoroh : 183 )
Dalil tentang kewajiban haji adalah firman Allah Ta’ala :
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً
Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah”. ( QS. Ali ‘Imran : 97 )
Kemudian sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam :
بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَصِيَامِ رَمَضَانَ وَحَجِّ الْبَيْتِ
“Islam dibangun di atas lima perkara, yaitu : persaksian bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah I semata dan persaksian bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul –Nya, mendirikan sholat, menunaikan zakat, puasa romadhon dan pergi haji”. [ HR. Bukhari dan Muslim]
D.   SYARAT UTAMA DITERIMANYA IBADAH
Peribadatan seorang hamba yang muslim akan diterima dan diberi pahala oleh Allah I apabila telah memenuhi dua syarat utama berikut ini, yaitu :
1.    IKHLAS  ( اَلإِخْلاَصُ )
Ikhlas merupakan salah satu makna dari syahadat (  أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ) ‘bahwa tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah I’ yaitu agar menjadikan ibadah itu murni hanya ditujukan kepada Allah semata. Allah I berfirman :
وَمَا أُمِرُوا إِلاَّ لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاَةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama”. [QS. Al Bayyinah : 5]
فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَهُ الدِّينَ
“Maka beribadahlah kepada Allah dengan memurnikan ketaatan (mu) untuk-Nya.” [QS. Az Zumar : 2]
Kemudian Rasulullah r bersabda :
إِنَّ اللهَ عَزَّ وَ جَلَّ لاَ يَقْبَلُ مِنَ الْعَمَلِ إِلاَّ مَا كَانَ لَهُ خَالِصًا وَابْتُغِيَ بِهِ وَجْهُهُ
“Sesungguhnya Allah tidak menerima suatu amal perbuatan kecuali yang murni dan hanya mengharap ridho Allah”. [HR. Abu Dawud dan Nasa’i]
Lawan daripada ikhlas adalah syirik (menjadikan bagi Allah tandingan/sekutu di dalam beribadah, atau beribadah kepada Allah tetapi juga kepada selain-Nya). Contohnya : riya’ (memperlihatkan amalan pada orang lain), sum’ah (memperdengarkan suatu amalan pada orang lain), ataupun ujub (berbangga diri dengan amalannya). Kesemuanya itu adalah syirik yang harus dijauhi oleh seorang hamba agar ibadahnya itu diterima oleh Allah I . Sebagaimana sabda Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam:
إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمُ الشِّرْكُ اْلأَصْغَرُ قَالُوا وَمَا الشِّرْكُ اْلأَصْغَرُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الرِّيَاءُ
“Sesungguhnya sesuatu yang paling aku takutkan terjadi pada kalian adalah syrik kecil”, para sahabat bertanya : “Wahai Rasulullah, apa itu syirik kecil ? Rasulullah menjawab : “Riya’”. [HR. Ahmad]
Kemudian firman Allah tentang larangan syirik ialah,
فَلاَ تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah padahal kalian mengetahui”. [QS. Al-Baqoroh :22]
Orang yang rajin beribadah kepada Allah I namun dalam waktu yang bersamaan ia belum bertaubat dari perbuatan syirik dengan berbagai bentuknya, maka semua amal ibadah yang telah dikerjakannya menjadi terhapus dan ia menjadi orang yang merugi di akhirat kelak, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan”. [QS. Al-An’aam: 88]
وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Dan Sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu. “Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu Termasuk orang-orang yang merugi”. [QS. Az-Zumar: 65]
2. AL-ITTIBA’ ( اَلْاِتِّبَاعُ )
Al-Ittiba’ (Mengikuti Tuntunan Nabi Muhammad r) merupakan salah satu dari makna syahadat bahwa Muhammad adalah utusan Allah (أَنَّمُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ), yaitu agar di dalam beribadah harus sesuai dengan ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad r . Setiap ibadah yang diadakan secara baru yang tidak pernah diajarkan atau dilakukan oleh Nabi Muhammad maka ibadah itu tertolak, walaupun pelakunya tadi seorang muslim yang mukhlis (niatnya ikhlas karena Allah dalam beribadah). Karena sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada kita semua untuk senantiasa mengikuti tuntunan Nabi Muhammad  dalam segala hal, dengan firman-Nya :
وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
“Dan apa-apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah”.[QS. Al Hasyr : 7]
            Dan Allah Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu”. [QS. Al-Ahzaab: 21]
Dan Rasulullah r  juga telah memperingatkan agar meninggalkan segala perkara ibadah yang tidak ada contoh atau tuntunannya dari beliau, sebagaimana sabda beliau:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa mengamalkan suatu amalan yang tidak ada urusannya dari kami maka amal itu tertolak”. [HR. Muslim]
Itulah tadi dua syarat yang menjadikan ibadah seseorang diterima dan diberi pahala oleh Allah, sebagaimana firman-Nya :
فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحًا وَلاَ يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
“Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shaleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya”. [QS. Al Kahfi : 110]
Berkata Ibnu Katsir di dalam menafsirkan ayat ini : “Inilah 2 landasan amal yang diterima (dan diberi pahala oleh Allah), yaitu harus ikhlas karena Allah dan benar / sesuai dengan syari’at Rasulullah .
Jadi kedua syarat ini haruslah ada pada setiap amal ibadah yang kita kerjakan dan tidak boleh terpisahkan antara yang satu dan yang lainnya. Mengenai hal ini berkata Al Fudhoil bin ‘Iyadh :
“Sesungguhnya andaikata suatu amalan itu dilakukan dengan ikhlas namun tidak benar (tidak sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad ), maka amalan itu tidak diterima. Dan andaikata amalan itu dilakukan dengan benar (sesuai dengan tuntunan Nabi ) tapi tidak ikhlas, juga tidak diterima, hingga ia melakukannya dengan ikhlas dan benar. Ikhlas semata karena Allah, dan benar apabila sesuai dengan tuntunan Nabi ”.
Maka barang siapa mengerjakan suatu amal dengan didasari ikhlas karena Allah semata dan cocok dengan tuntunan Rasulullah niscaya amal itu akan diterima dan diberi pahala oleh Allah. Akan tetapi kalau hilang salah satu dari dua syarat tersebut, maka amal ibadah itu akan tertolak dan tidak diterima oleh Allah I. Hal inilah yang sering luput dari perhatian orang banyak karena hanya memperhatikan satu sisi saja dan tidak  memperdulikan yang lainnya. Oleh karena itu sering kita dengar mereka mengucapkan : “yang penting niatnya, kalau niatnya baik maka amalnya akan baik”.
Perlu diketahui bahwa sikap ittiba’ (berupaya mengikuti tuntunan Nabi Muhammad r) tidak akan tercapai / terwujud kecuali apabila amal ibadah yang dikerjakan sesuai dengan syari’at dalam 6 (enam) perkara, yaitu :
1.    SEBAB ( اَلسَّبَبُ )
Jika seseorang melakukan suatu ibadah kepada Allah dengan sebab yang tidak di syari’atkan, maka ibadah tersebut adalah bid’ah dan tertolak. Contohnya: ada orang melakukan sholat Tahajjud khusus pada malam 27 Rajab dengan dalih bahwa malam itu adalah malam Isro Mi’rajnya Nabi Muhammad r. Sholat Tahajjud adalah ibadah yang dianjurkan, tetapi karena dikaitkan dengan sebab tersebut yang tidak ada syari’atnya, maka ia menjadi bid’ah.
2.    JENIS ( اَلْجِنْسُ )
Ibadah harus sesuai dengan syari’at dalam jenisnya. Contohnya: bila seseorang menyembelih kuda atau ayam pada hari Iedul Adha untuk korban, maka hal ini tidak sah karena jenis yang boleh dijadikan untuk korban adalah unta, sapi dan kambing.
3.    BILANGAN ( اَلْعَدَدُ )
Kalau ada orang yang menambahkan rokaat sholat yang menurutnya hal itu diperintahkan, maka sholatnya itu adalah bid’ah dan tidak diterima oleh Allah. Jadi apabila ada orang yang sholat Dhuhur 5 rokaat atau sholat Shubuh 3 rokaat dengan sengaja maka sholatnya tidak diterima oleh Allah karena tidak sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad.
4.    TATA CARA ( اَلْكَيْفِيَّةُ )
Seandainya ada orang berwudhu dengan membasuh kaki terlebih dulu baru kemudian muka, maka wudhunya tidak sah karena tidak sesuai dengan tata cara yang telah disyari’atkan oleh Allah dan Rasul-Nya di dalam Al-Qur’an Al-Karim dan Al-Hadits Asy-Syarif.
5.    WAKTU ( اَلزَّمَانُ )
Apabila ada orang yang menyembelih korban sebelum sholat hari raya Idul Adha atau mengeluarkan zakat Fitri sesudah sholat hari raya Idul Fitri, atau melaksanakan shalat fardhu sebelum masuk atau sesudah keluar waktunya, maka penyembelihan hewan korban dan zakat Fitrinya serta shalatnya tidak sah karena tidak sesuai dengan waktu yang telah ditentukan oleh syari’at Islam, yaitu menyembelih hewan korban dimulai sesudah shalat hari raya Idul Adha hingga sebelum matahari terbenam pada tanggal 13 Dzul Hijjah (hari Tasyriq ketiga), dan mengeluarkan zakat Fitri sebelum dilaksanakannya sholat Idul Fitri.
6.    TEMPAT ( اَلْمَكَانُ )
Apabila ada orang yang menunaikan ibadah haji di tempat selain Baitulah Masjidil Haram di Mekah, atau melakukan i’tikaf di tempat selain masjid (seperti di pekuburan, gua, dll), maka tidak sah haji dan i’tikafnya. Sebab tempat untuk melaksanakan ibadah haji adalah di Masjidil Haram saja, dan ibadah i’tikaf tempatnya hanya di dalam masjid.
Sehingga dengan memperhatikan enam perkara tersebut, maka kita dapat mencocokkan / mengoreksi apakah amal ibadah yang kita lakukan sudah sesuai dengan syariat Allah dan Rasul-Nya atau tidak?.
Demikian pembahasan singkat tentang syarat-syarat utama diterimanya amal ibadah. Semoga bermanfaat bagi kita semua di dunia dan akhirat. Amiin…
(Sumber: Buletin Dakwah Al-Ittiba’, Yayasan Mutiara Hikmah Klaten – Jawa Tengah, edisi 21 tahun II, 2008 M)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar